DAILYHITS.ID – Di media sosial hari ini debat tak ubahnya pasar yang tak pernah tutup. Setiap topik dari politik sampai harga bakso dapat meledak menjadi “perang komentar” dalam hitungan menit.
Ruang digital seolah menjamin kebebasan berpendapat tanpa batas, padahal jejak yang ditinggalkan justru bersifat abadi dan mudah menyeret seseorang pada perkara pidana.
Fenomena ini menunjukkan betapa tipisnya batas antara diskusi sehat dan perbuatan melawan hukum. Satu kalimat yang ditafsirkan berbeda kerap cukup untuk mengubah perdebatan biasa menjadi konflik panas. Di titik inilah garis antara opini dan delik menjadi kabur.
Salah satu titik rawan muncul ketika komentar menyentuh pencemaran nama baik.Tuduhan seperti “penipu, maling, hingga korupsi” yang dilontarkan tanpa bukti bisa masuk Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan melalui media elektronik. Pada momen tersebut, komentar bukan lagi sekadar pernyataan emosi, tetapi berpotensi menjadi laporan polisi.
Perang komentar juga berubah menjadi delik saat mulai menyerempet penghinaan yang menyerang kehormatan seseorang. Belum lagi ujaran ancaman, yang kerap dianggap sebagai lontaran spontan. Kalimat seperti “awas lu, atau gue datengin rumah lu” hal ink dapat masuk ranah Pasal 29 UU ITE tentang ancaman kekerasan, meski tidak ada kontak fisik. Hukum memandang bukan hanya ucapan, tetapi juga dampak psikologis terhadap korban.
Jenis lain yang kerap meledak dalam ruang digital adalah ujaran kebencian berbasis SARA. Serangan terhadap ras, agama, dan identitas kelompok bukan sekadar perilaku tidak sopan, tetapi dapat dianggap tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Pada titik ini, perang komentar bukan lagi adu argumen, melainkan serangan terhadap martabat manusia.
Namun, persoalan utama sebenarnya bukan sekadar soal pasal. Debat dan delik dibedakan oleh niat dan dampak, Perbedaan pendapat boleh tajam, namun tidak semestinya menghancurkan. Media sosial bukan ruang bebas nilai; ia ruang publik yang terekam dan bisa menjadi barang bukti.
Lantas kapan debat berubah menjadi delik? Jawabannya sederhana: ketika kata-kata berhenti menyerang argumen, dan mulai menyerang manusia.
Opini:
Penulis : Andri Apriadi Setia Putra Mahasiswa Universitas Pamulang Serang
Halaman : 1 2 Selanjutnya










